Biografi Imam Asy-Syaukani
Nama dan nasab
Abu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Shalah bin Ibrahim bin Muhammad Al-‘Afif bin Muhammad bin Rizq, Asy-Syaukani. Dinisbahkan kepada ‘Syaukan’, yaitu sebuah desa dari desa-desa As-Sahamiyyah, salah satu kabilah Khawlan, yang jaraknya dengan Sana’a kurang dari jarak perjalanan satu hari.” [1]
Kelahiran
Beliau rahimahullahu Ta‘ala lahir pada hari Senin, tanggal 28 Zulhijah tahun 1173 H di desa Hijrah Syaukan. [2]
Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmu
Beliau rahimahullahu Ta‘ala tumbuh besar di Shan‘a, Yaman, dan dibesarkan di rumah ilmu dan kemuliaan, sehingga ia tumbuh dengan pendidikan agama yang suci. Ia menerima pengetahuan awalnya dari ayahnya dan para ulama serta orang-orang mulia di kampungnya. Ia menghafal Al-Qur’an Al-Karim dan membacanya dengan baik.
Di antara faktor yang membantu Imam Asy-Syaukani dalam menuntut ilmu dan mencapai kecerdasan sejak dini adalah keberadaan dan pendidikannya di rumah ilmu dan kemuliaan. Ayahnya rahimahullah adalah salah satu ulama terkemuka di masanya, dan kebanyakan penduduk desa tersebut juga termasuk dari kalangan ulama dan orang-orang mulia.
Asy-Syaukani berkata tentang ayahnya dan penduduk desanya,
وهذه الهجرة معمورة بأهل الفضل والصلاح والدين من قديم الزمان، لايخلو وجود عالم منهم في كل زمن، ولكنه يكون تارة في بعض البطون، وتارة في بطن أخرى، ولهم عند سلف الأئمة جلالة عظيمة،وفيهم رؤساء كبار، ناصروا الأئمة، ولاسيما في حروب الأتراك، فإن لهم في ذلك اليد البيضاء، وكان فيهم إذ ذاك علماء و فضلاء، يعرفون في سائر البلاد الخولانيه بالقضاة
“… Desa Hijrah ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan, kesalehan, dan agama sejak zaman dahulu. Tidak pernah kosong dari keberadaan seorang ulama pada setiap masa, hanya saja terkadang berada di sebagian kabilah dan terkadang di kabilah lainnya. Mereka memiliki kedudukan yang agung di sisi para imam terdahulu, dan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar yang membantu para imam, khususnya dalam peperangan melawan Turki, di mana mereka memiliki jasa yang besar. Pada masa itu, di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang mulia yang dikenal di seluruh negeri Khawlan dengan sebutan para qadhi.”
Dengan demikian, Asy-Syaukani mampu memanfaatkan keberadaan para ulama di masanya yang jumlahnya sangat banyak untuk menuntut ilmu di berbagai bidang. [3] Imam Syaukani juga melakukan perjalanan menuntut ilmu di berbagai negeri untuk mulazamah dengan ulama yang ada di negeri tersebut.
Ciri fisik dan akhlak
Kitab-kitab sejarah dan biografi tidak banyak menyebutkan tentang sifat fisik Asy-Syaukani, kecuali bahwa beliau bertubuh sedang, berkepala besar, memiliki dahi yang lebar, tampak sehat, dan memiliki kondisi fisik yang prima.
Adapun sifat-sifat akhlaknya sangat banyak dan terkenal. Dalam kehidupan Asy-Syaukani, terlihat jelas bahwa beliau memulai hidupnya dengan sikap menjauh dari keramaian, tidak bergaul dengan orang kecuali untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.
Kehidupannya sederhana dan zuhud, hidup secukupnya dari nafkah yang diberikan ayahnya. Ketika ia menjabat sebagai qadhi dan menerima gaji yang besar, beliau mulai menikmati makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan yang layak, serta memberi kepada murid-murid dan guru-gurunya dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.
Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Asy-Syaukani mendapatkan banyak tanah garapan dan sedekah, namun mereka menegaskan bahwa beliau tidak menyisakan sedikit pun dari itu setelah mengabdi di bidang peradilan selama lebih dari 40 tahun. Semua itu dihabiskannya di jalan kebaikan dan amal saleh.
Disebutkan dengan penuh penghormatan seorang ulama mulia, Isma‘il bin Ali bin Hasan, yang biasa menghadiri majelis Imam Asy-Syaukani dan berkata,
الذي كان يحضر مجلس الإمام ويقول: ” لم أسمع منه على طول مدة اجتماعي به هناك مؤذنة بالخضوع لمطلب من مطالب الدنيا، لا تصريحاً و لا تلويحاً
“Selama waktu yang panjang aku duduk bersamanya di majelis itu, aku tidak pernah mendengar sedikit pun tanda-tanda beliau tunduk pada tuntutan duniawi, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.” [4]
Asy-Syaukani sangat berbakti kepada guru-guru dan murid-muridnya, membuka peluang kerja di pemerintahan bagi mereka, membela mereka, dan memohonkan pertolongan kepada para imam dalam setiap masalah yang menimpa mereka. Meski beliau memiliki kecerdasan yang tajam, daya ingat yang kuat, serta keteguhan dalam pandangan dan ijtihadnya, beliau tidak merendahkan ilmunya untuk terlibat dalam perdebatan kosong dengan orang-orang yang berpura-pura berilmu. [5]
Akidah
Asy-Syaukani berpendapat bahwa metode para ahli kalam tidak akan sampai pada keyakinan yang pasti dan tidak mungkin mencapai kebenaran yang mereka tuju. Sebab, kebanyakan metode mereka dibangun di atas dasar-dasar yang bersifat dugaan, tanpa sandaran kecuali klaim sepihak atas akal dan tuduhan terhadap fitrah. Setiap kelompok di antara mereka membuat prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip kelompok lain, lalu menegakkan prinsip itu berdasarkan apa yang mereka anggap benar menurut akal mereka yang terbatas. Akibatnya, sesuatu yang benar menurut satu kelompok menjadi batal di mata kelompok lain. Mereka menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ketuhanan dan akidah dengan prinsip-prinsip yang saling bertentangan itu, sehingga setiap kelompok meyakini kebalikan dari keyakinan kelompok lainnya. [6]
Asy-Syaukani berkata tentang masalah ini,
و إن كنت تشك في هذا، فراجع كتب الكلام، وانظر المسائل التي قد صارت عند أهله من المراكز، كمسألة التحسين والتقبيح، وخلق الأفعل، وتكليف مالا يطاق، ومسألة خلق القرآن، فإنك تجد ما حكيته لك بعينه
“Jika engkau ragu akan hal ini, maka rujuklah kitab-kitab kalam dan lihatlah masalah-masalah yang dianggap pokok oleh ahlinya, seperti masalah al-husn wal-qubh (baik dan buruk), penciptaan perbuatan, taklif dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, dan masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Engkau akan menemukan apa yang aku sampaikan ini persis adanya.” [7]
Karena itu, jalan yang lurus dalam masalah ketuhanan dan keimanan terhadapnya adalah jalan salaf saleh, dari para sahabat dan tabi‘in, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah sesuai zahirnya, memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sesuai makna bahasa umumnya, tanpa menakwilkannya, dan beriman kepadanya seperti itu tanpa paksaan dan penyimpangan, tanpa tasybih (penyerupaan) maupun ta‘thil (penolakan sifat). Mereka menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dengan cara yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Dia menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun sekaligus menafikan keserupaan dengan makhluk. [8]
Asy-Syaukani menganut prinsip ini, menjadikan dua ayat sebagai landasan dakwahnya kepada mazhab salaf:
Yang pertama, firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Yang kedua,
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa pun tentang-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (QS. Thaha: 110)
Kedua ayat ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus: penetapan sifat-sifat Allah dan penafian keserupaan sifat itu dengan makhluk, serta membatasi penetapan itu pada zahir yang dijelaskan ayat, dan melarang membahas bagaimana sifat-sifat tersebut.
Asy-Syaukani menulis pandangannya ini dalam banyak kitabnya, khususnya At-Tuhaf fi Madzahib as-Salaf dan Kasyf asy-Syubuhat ‘an al-Musytabihat.
Ia menganut akidah ini setelah penelitian panjang dan membaca kitab-kitab ilmu kalam, sehingga menegaskan bahwa ia tidak mengikuti mazhab salaf karena taklid, melainkan melalui ijtihad dan keyakinan pribadi.
Karena itu, ia berkata,
ولتعلم أني لم أقل هذا تقليداً لبعض من أرشدك إلى ترك الاشتغال بهذا الفن، كما وقع لجماعة من محققي العلماء، بل قلت هذا بعد تضييع برهة من العمر في الاشتغال به، وإحفاء السؤال لمن يعرفه، والأخذ عن المشهورين به، والإكباب على مطالعة كثير من مختصراته و مطولاته
“Ketahuilah bahwa aku tidak mengatakan ini karena taklid kepada sebagian orang yang menasihatimu untuk meninggalkan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama yang meneliti. Akan tetapi, aku mengatakannya setelah membuang waktu cukup lama dalam mempelajarinya, bertanya kepada orang yang menguasainya, belajar dari para tokoh yang terkenal di bidangnya, membaca banyak ringkasan dan kitab tebalnya.” [9]
Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-Andalusi
Mazhab
Asy-Syaukani pada awal kehidupannya mempelajari fikih dengan berpegang pada mazhab Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, dan beliau unggul dalam mazhab tersebut hingga melampaui para ulama pada zamannya. Sampai akhirnya beliau melepaskan diri dari belenggu taqlid dan menghiasi dirinya dengan kedudukan sebagai seorang mujtahid. Beliau pun menulis kitabnya as-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar. Dalam kitab tersebut, beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Zaidiyah, melainkan menguatkan pendapat yang menurut hasil ijtihadnya benar berdasarkan dalil, dan melemahkan pendapat yang tidak memiliki landasan dalil.
Hal ini membuat para pengikut mazhabnya, dari kalangan Zaidiyah yang fanatik terhadap mazhab mereka dalam masalah pokok maupun cabang agama, marah dan menentangnya. Beliau pun menghadapi mereka dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap kali mereka semakin keras menentangnya, beliau semakin teguh berpegang pada jalannya. Hingga akhirnya beliau menulis sebuah risalah berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang berisi celaan dan pengharaman terhadap taqlid. Risalah ini justru semakin menambah fanatisme mereka terhadap penentangan beliau, bahkan sampai menuduh beliau ingin meruntuhkan mazhab Ahlul Bait.
Akibatnya, terjadi fitnah di kota Shan‘a antara para penentangnya dan para pendukungnya. Beliau membalas tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa dirinya bersikap sama terhadap semua mazhab, dan tidak khusus mengharamkan taqlid hanya pada mazhab Zaidiyah saja. [10]
Demikianlah, asy-Syaukani memilih jalan bermazhab yang tidak terikat pada satu pendapat tertentu dari para ulama terdahulu, melainkan mengikuti apa yang dihasilkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat terlihat oleh pembaca kitabnya Nail al-Awthar, di mana beliau menukil pendapat-pendapat dan mazhab para ulama di berbagai negeri, pendapat para sahabat dan tabi‘in, beserta hujjah masing-masing, lalu menutupnya dengan pendapat pribadinya, memilih apa yang menurutnya lebih kuat.
Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad telah dimudahkan oleh Allah Ta‘ala bagi para ulama yang datang belakangan, bahkan lebih mudah dibandingkan masa generasi awal. Beliau berkata,
فإنه لا يخفى على من له أدنى فهم، أن الاجتهاد قد يسره الله للمتأخرين، تيسيراً لم يكن للسابقين؛ لأن التفاسير للكتاب العزيز قد دونت، وصارت من الكثرة إلى حد لا يمكن حصره، وكذلك السنة المطهرة، وتكلم الأئمة في التفسير، والتجريح والتصحيح، والترجيح، بما هو زيادة على ما يحتاج إليه المجتهد، وقد كان السلف الصالح، ومن قبل هؤلاء المنكرين يرحل للحديث الواحد، ومن قطر إلى قطر، فالاجتهاد على المتأخرين أيسر وأسهل من الاجنهاد على المتقدمين، ولا يخالف في هذا من له فهم صحيح، وعقل سوي
“… Tidaklah samar bagi siapa pun yang memiliki sedikit saja pemahaman, bahwa ijtihad telah dimudahkan oleh Allah bagi para ulama muta’akhkhirin dengan kemudahan yang tidak dimiliki para pendahulu. Sebab, kitab-kitab tafsir terhadap Al-Qur’an telah ditulis dan jumlahnya kini sangat banyak hingga tak terhitung, begitu pula sunnah Nabi ﷺ, dan para imam telah membahas tentang tafsir, jarh wa ta‘dil, serta tarjih dengan pembahasan yang lebih dari cukup bagi seorang mujtahid. Padahal para ulama salaf dahulu — bahkan sebelum mereka yang mengingkari ijtihad ini — kadang menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadis, dari satu negeri ke negeri lain. Maka, ijtihad bagi ulama belakangan ini lebih mudah dan ringan dibandingkan ijtihad bagi ulama terdahulu. Dan tidaklah hal ini diingkari oleh siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar dan akal yang lurus.” [11]
Guru-guru
Asy-Syaukani adalah sosok yang memiliki semangat besar untuk mencari ilmu dan pengetahuan di berbagai sumber. Ia berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain untuk menimba ilmu, sehingga sulit untuk melacak semua gurunya. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian guru beliau yang terkenal, di antaranya:
- Ayahnya: Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan al-Syaukani (w. 1211 H). [12]
- Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muthahhar al-Qabali (1158–1227 H). [13]
- Ahmad bin ‘Amir al-Hada’i (1127–1197 H / 1715–1783 M).
- Ahmad bin Muhammad al-Harazi (1158–1227 H). [14]
- Isma’il bin al-Hasan al-Mahdi bin Ahmad bin al-Imam al-Qasim bin Muhammad (1120–1206 H).
- al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (1140–1208 H).
- Shadiq ‘Ali al-Mazzajaji al-Hanafi (1150–1209 H).
- ‘Abd al-Rahman bin Hasan al-Akwa‘ (1135–1207 H / 1724–1772 M).
- ‘Abd al-Rahman bin Qasim al-Madani (1121–1211 H / 1709–1796 M). [15]
- ‘Abd al-Qadir bin Ahmad Syarf al-Din al-Kawkabani (1135–1207 H). [16]
Dan masih banyak lagi guru-guru beliau rahimahullah.
Murid-murid
Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:
- Putranya, Ahmad bin Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
- Muhammad bin Ahmad As-Sudi
- Muhammad bin Ahmad Musyham As-Sha‘di Ash-Shan‘ani
- Ahmad bin Ali bin Muhsin
- Muhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya Asy-Syami
- Abdurrahman bin Ahmad Al-Bahlaki Adh-Dhamadi Ash-Shibya‘i
- Ahmad bin Abdullah Adh-Dhamadi
- Ali bin Ahmad bin Hājar Ash-Shan‘ani
Karya tulis
Imam asy-Syaukani rahimahullah meninggalkan warisan besar berupa karya tulis yang mencapai 278 judul. Sebagian besar dari karya tersebut masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di laci dan rak, dan hingga kini belum berkesempatan terbit atau dicetak. Di antara karya tulisnya adalah:
- Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min at-Tafsir
- Al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah
- Ad-Durar al-Bahiyyah
- Ad-Darari al-Mudiyyah fi Syarh ad-Durar al-Bahiyyah
- As-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar
- Nail al-Autar Syarh Muntaqa al-Akhbar
- Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul
- Tuhfah adz-Dzakirin
- Al-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani
- Al-Badr ath-Thaali’ bi Mahasin man Ba’da al-Qarn as-Sabi’
Dan masih banyak lagi karya lainnya.
Pujian ulama
Ibrahim bin ‘Abdullah al-Houthi berkata tentangnya,
زعيم ارباب التأويل سمع وصنف وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحجث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه في البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في الحديث والتفسير والأصول والفروع والتاريخ ومعرفة الرجال وحال الأسانيد في تحصيل العوالي وتمييز العالي من النازل وغير ذلك
“Pemimpin para ahli takwil, ia mendengar (hadis), menulis, dan membuat telinga terpukau dengan fatwa-fatwanya yang indah. Ia meriwayatkan dan memberi manfaat, lembaran-lembaran fatwanya tersebar di berbagai negeri. Ia masyhur dengan ketelitian dan ketajaman analisis. Kepemimpinan ilmu dalam bidang hadis, tafsir, ushul, furu‘, sejarah, serta ilmu rijal dan keadaan sanad—dalam memperoleh sanad yang tinggi, membedakan antara sanad tinggi dan rendah, serta lain-lain—berakhir (berpusat) padanya.” [17]
Luthf bin Ahmad Juhaf berkata tentang asy-Syaukani,
مفسر محدث، فقيه أصولي مؤرخ أديب نحوي منطقي متكلم حكيم صارت تصانيفه في البلاد في حياته وانتفع الناس بها بعد وفاته، وتفسيره ” فتح القدير ” و ” نيل الأوطار ” في الحديث من خير ما أخرج للناس كما يلاحظ أن الشوكاني يدخل في المناقشات الفقهية ويذكر أقوال العلماء وأدلتهم في تفسير كل آية تتعلق بالأحكام
“Beliau adalah seorang mufassir, muhaddits, faqih usuli, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, logika, ilmu kalam, dan hikmah. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai negeri sejak masa hidupnya, dan manusia tetap mengambil manfaat darinya setelah wafatnya. Tafsir beliau Fath al-Qadir dan kitab hadis Nayl al-Awthar termasuk sebaik-baik karya yang pernah disajikan untuk umat. Terlihat bahwa asy-Syaukani masuk dalam diskusi-diskusi fikih, menyebutkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil mereka dalam menafsirkan setiap ayat yang berkaitan dengan hukum.” [18]
Wafat
Imam asy-Syaukani rahimahullah wafat pada malam Rabu, tiga hari tersisa dari bulan Jumadal Akhirah tahun 1250 H / 1834 M, pada usia 76 tahun 7 bulan. Beliau disalatkan di Masjid Agung Sana’a dan dimakamkan di pemakaman Khuzaymah yang terkenal di kota Sana’a. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan membalas jasanya kepada kita dengan sebaik-baik balasan.
Al-‘Allamah Hasan bin Ahmad al-Bahkali berkata tentangnya,
السنة الخمسون بعد المائتين والألف، وفيها في شهر جمادى الآخرة كانت وفاة شيخنا ” محمد بن علي الشزكاني ” وهو قاضي الجماعة، شيخ الإسلام، المحقق العلامة الإمام، سلطان العلماء، إمام الدنيا، خاتمة الحفاظ بلا مراء، الحجة النقاد، علي الإسناد، السابق في ميدان الاجتهاد
“Tahun lima puluh setelah dua ratus dan seribu (1250 H), pada bulan Jumada al-Akhirah, wafat guru kami Muhammad bin ‘Ali al-Syazkani, yang merupakan Qadhi al-Jama‘ah, Syekhul Islam, ulama peneliti yang alim, imam, sultan para ulama, imam dunia, penutup para huffazh tanpa keraguan, hujjah yang ahli kritik, memiliki sanad tinggi, yang terdepan di medan ijtihad.” [19]
Wallahu a’lam.
Baca juga: Biografi Imam Ad-Darimi
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 480 melalui Maktabah Syamilah.
[2] Ibid, 1: 481.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 150.
[5] Muqaddimah As-Sail Al-Jaror, hal. 38 (melalui Maktabah Syamilah).
[6] Kasyfu Syubhat ‘an Al-Mutasyabihat, hal. 22-23 (melalui Maktabah Syamilah).
[7] Ibid.
[8] At-Tuhaf fii Mazahib As-Salaf, hal. 53 (melalui Maktabah Syamilah).
[9] Ibid, hal. 23-24.
[10] Al-Qoul Al-Mufiid, hal. 25-26.
[11] Irsyad Al-Fahuul, hal. 446-449 (melalui Maktabah Syamilah dan diringkas oleh penulis).
[12] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 464 (melalui Maktabah Syamilah).
[13] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, karya Al-Ghamariy, hal. 71 (melalui Maktabah Syamilah).
[14] Ibid, hal. 73.
[15] Op, cit, 1: 380.
[16] Ibid.
[17] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, hal. 318.
[18] Mu’jam Al-Muallifin, 11: 53 (melalui Maktabah Syamilah).
[19] At-Taj Al-Mukallal, hal. 451 (melalui Maktabah Syamilah).
Artikel asli: https://muslim.or.id/110177-biografi-imam-asy-syaukani.html